Harapan Mencegah Perubahan Iklim Tak Terkendali

Harapan Mencegah Perubahan Iklim Tak Terkendali

Solopos.com, JAKARTA – Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 yang akan berlangsung pada November 2021 di Glasgow, Inggris, menjadi harapan terakhir untuk mencegah peningkatan suhu bumi yang tak terkendali.

Presiden COP26 Alok Sharma dalam pidato pada Jumat (14 Juni 2021) sebagaimana diberitakan AFP mengatakan konferensi tingkat tinggi tersebut adalah harapan terakhir untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1,5°C. Bila kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5°C terjadi, para ilmuwan percaya perubahan iklim tak terkendali akan terjadi.

Konferensi Tingkat Tinggi COP26 di Glasgow akan mempertemukan negosiator iklim dari 196 negara dan Uni Eropa bersama para pakar dan pemimpin dunia. Pertemuan ini awalnya dijadwalkan pada November 2020 di Glasglow, namun diundur karena pandemi Covid-19.

Conferences of Parties (COP) 26 adalah adalah konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim yang bertujuan meraih target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015. Konferensi tingkat tinggi ini menjadi kesempatan terbaik membangun masa depan lebih cerah, pekerjaan ramah lingkungan, dan udara yang bersih.

Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Lebih Cepat dan Makin Berbahaya

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya ketika memimpin delegasi Indonesia memberikan pandangan sekaligus komitmen Indonesia pada lima isu krusial COP26 Glasgow dalam pertemuan The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC pada Minggu-Senin (25-26 Juli 2021).

Pertemuan itu diselenggarakan secara hibrid oleh pemerintah Inggris selaku tuan rumah COP26 UNFCCC yang akan diselenggarakan pada November 2021 di Glasgow. UNFCCC adalah United Nations Framework Convention on Climate Change atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.

Lima isu krusial yang akan dibahas dalam COP26 UNFCCC di Glasgow meliputi scaling-up adaptation; keeping 1,5°C alive; loss and damage; finalizing the Paris Rulebook-Article 6; dan mobilizing finance.

Pada isu pertama, scaling-up adaptation, Menteri Siti Nurbaya menyampaikan Indonesia menempatkan agenda adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi dalam aksi-aksi pengendalian perubahan iklim. Indonesia telah menetapkan peta jalan adaptasi perubahan iklim hingga tahun 2030 yang dituangkan dalam nationally determined contribution atau NDC.

Sebagaimana dijelaskan dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 27 Juli 2021 dan diunggah di laman menlhk.go.id, Indonesia mempunyai komitmen yang sangat tinggi terhadap adaptasi perubahan iklim.

Dalam pertemuan itu disampaikan harapan tentang yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan prediksi pendanaan untuk adaptasi, termasuk meningkatkan aksesibilitas pendanaan untuk aksi lokal. Indonesia membutuhkan sumber daya yang besar.

”Saya ingin menggarisbawahi bahwa climate actions memerlukan kebijakan strategis dan kerja sama pembiayaan antarpemangku kepentingan di tingkat nasional dan global. Oleh karena itu, kami terus mendorong agar mendapat dukungan yang kondusif untuk meningkatkan pendanaan iklim, termasuk melalui kebijakan fiskal dan meningkatkan akses ke keuangan global,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Dalam isu kedua, keeping 1,5°C alive, Indonesia berpandangan salah satu tujuan Perjanjian Paris 2015 adalah membatasi kenaikan suhu global sampai 1,5°C. Harapan terhadap outcome COP26 serta identifikasi langkah diperlukan untuk menyukseskan COP26 dalam isu ini.

Dalam aksi pengendalian perubahan iklim, keseriusan Indonesia antara lain berupa inisiatif penerapan energi baru dan terbarukan atau EBT melalui kerja sama dengan dunia usaha. Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong dalam isu ketiga, loss and damage, menyampaikan pandangan Indonesia terhadap pembentukan the Santiago Network for Loss and Damage (SNLD).

Tiga elemen penting menjadi prioritas, yaitu tujuan, operasional, dan fungsi SNLD khususnya bagi negara berkembang. Peran SNLD diharapkan mampu menjadi katalisator dalam memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang dalam upaya mencegah, meminimalkan, dan mengatasi kerugian dan kerusakan (loss and damage).

”Dalam operasionalnya berdasarkan prinsip country-driven dan fungsinya mencerminkan perspektif kebutuhan pemangku kepentingan, terutama negara berkembang,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong.

Agar berjalan cepat dan efektif, operasionalisasi SNLD harus dilakukan melalui pengaturan kelembagaan yang tepat. Hal-hal teknis dan finansial harus dibahas secara menyeluruh untuk memastikan SNLD dioperasionalkan secara efektif.

Pada isu keempat, finalizing the Paris Rulebook-Article 6, delegasi Indonesia menyampaikan putusan di COP26 Glasgow terhadap Pasal 6 Perjanjian Paris 2015 harus memuat unsur-unsur yang diperlukan untuk segera mengoperasionalkannya tahun depan. Begitu juga dengan program kerja untuk masalah-masalah yang diperlukan demi pelaksanaan sepenuhnya pasal ini.

Pada isu kelima, mobilizing finance, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Indonesia mendesak negara maju memenuhi komitmen pendanaan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan NDC.

Negara maju juga diamanatkan menyediakan dukungan finansial, teknologi, dan peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ambisinya. Terkait pendanaan ini, perlu ada catatan yang jelas dan terpercaya, baik yang sudah terealisasi maupun jumlah yang tersisa.

Netral Karbon

Perubahan iklim menjadi tantangan agar segala aktivitas manusia tidak sampai membuat peningkatan suhu bumi berlanjut. Peningkatan suhu bumi antara 1,5oC hingga 2o C akan berdampak banyak dan signifikan terhadap kehidupan di bumi.

Sebuah laporan berjudul A Degree of Concern: Why Global Temperatures Matter yang dirilis Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada 2019 menjelaskan peningkatan suhu bumi 2oC akan menyebabkan beberapa tempat mengalami peningkatan hujan lebat,  terutama di lintang tinggi belahan bumi utara.

Daerah tersebut mencakup Alaska, Kanada Barat, Kanada Timur, Greenland, Islandia, Eropa Utara, Asia Utara; daerah pegunungan seperti dataran tinggi Tibet; Asia Tenggara; dan Amerika Utara bagian timur dengan risiko banjir yang lebih tinggi. Lebih banyak wilayah daratan di bumi akan terpengaruh oleh banjir dan peningkatan air limpasan. Curah hujan deras dari siklon tropis diperkirakan akan semakin tinggi.

Peningkatan suhu bumi 1,5oC berakibat 6% serangga, 8% tumbuhan, dan 4% vertebrata akan berkurang rentang geografisnya hingga lebih dari setengahnya. Peningkatan suhu bumi 2oC menyebabkan angka-angka itu melonjak menjadi 18%, 16%, dan 8%.

Negara-negara di dunia bersepakat mengupayakan agar suhu bumi tidak sampai naik dengan menekan emisi karbon ke atmosfer. Aksi iklim berupa netral karbon atau emisi nol menjadi program dan target global. Netral karbon tercapai jika jumlah emisi karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer sama dengan jumlah emisi karbon dioksida yang dikeluarkan dari atmosfer.

Salah satu strategi dengan mengganti energi fosil dan pembangkit listrik berbahan gas dan minyak dengan energi bersih yang terbarukan. Jika ini dapat segera dilakukan akan mengurangi emisi karbon secara signifikan.

Selain menurunkan emisi karbon, peralihan dari sarana transportasi berbahan bakar fosil ke sarana transportasi listrik akan mengurangi polusi udara. Sejumlah negara produsen mobil telah berkomitmen segera menghentikan produksi dan penjualan mobil bertenaga bahan bakar fosil.

Upaya berbasis alam mencakup pemeliharaan hutan, lahan gambut, bakau, dan bahkan hutan rumput laut bawah tanah sangat penting karena sangat efisien menyerap karbon. Meningkatkan teknik budi daya pertanian untuk meminimalisasi gas metana yang berkontribusi bagi meningkatnya gas rumah kaca juga sangat penting.

Sebagian besar aksi iklim nasional dan internasional menargetkan tercapainya netral karbon pada tahun 2050. Beberapa negara sangat ambisius untuk mencapai pada tahun 2030.

Indonesia menargetkan tercapai netral karbon pada 2070. Hal ini tercantum dalam dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Target pemerintah Indonesia tersebut disayangkan sejumlah pihak. Institute for Essential Service Reform menilai target ini tidak berkomitmen pada Perjanjian  Paris 2015. Target netral karbon Indonesia yang baru akan dicapai pada 2070 justru akan merugikan Indonesia secara ekologi maupun secara ekonomi.

Contohnya, ketika masyarakat di banyak negara menghirup udara yang lebih bersih berkat kebijakan netral karbon yang diberlakukan mereka pada 2030 atau 2050, masyarakat Indonesia justru masih dipaksa menghirup udara kotor untuk beberapa waktu lamanya.

Secara ekonomi saat kebijakan netral karbon diberlakukan di negara-negara lain pada 2030 atau 2050, sebagian perusahaan Indonesia kemungkinan besar akan kesulitan bersaing di pasar internasional karena masih menggunakan sumber-sumber energi kotor.

 

 

 

The post Harapan Mencegah Perubahan Iklim Tak Terkendali appeared first on Solopos.com.



Posting Komentar